Duduk tepat berada di baris keempat deretan bangku, mata Kane mengamati sejenak beberapa perubahan yang ada sembari memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Seorang anak lelaki tepat di depannya berusia sekitar empat tahun menarik pandangannya. Mungkin karena sebagian orang juga terus menerus melihat anak kecil itu. Anak yang duduk di antara seorang lelaki dan perempuan, mungkin adalah orang tuanya ini tidak bisa terdiam. "Ah, namanya juga anak kecil, berisik mah biasa, fokus saja sih ibadahnya," berkata dalam hatinya.
Mata Kane tetap memperhatikan anak kecil itu. Di tengah keributan yang ia buat, anak kecil ini bagi Kane sungguh manis dan lucu. Sesekali matanya melihat Kane dan tersenyum lembut. Seolah ia ingin berbicara. Kane pun membalas dengan senyuman yang biasa ia berikan. Kane tak bisa mengabaikan atau menegurnya.
Pandangan orang lain lama-kelamaan mengganggu Kane. Dalam hatinya lagi, "Kita semua pernah kecil dan berisik 'kan?". "Ssstt!!!", ucap keras orang di sekitar Kane. Entah mengapa Kane malah terganggu saat orang lain berusaha mendiamkan anak tersebut. Lelaki di samping anak kecil itu tampak hanya bisa terdiam, sedangkan perempuan di sampingnya memperlakukannya dengan sabar.
Kane kala itu tidak duduk sendiri, ia bersama sahabatnya, Abigail. Abigail juga membalas senyuman anak kecil yang kini memandanginya dan juga Kane. Abigail tak jarang membuat mimik muka lucu, menghibur anak itu. Saat mulai berdoa untuk mendengarkan Firman Tuhan, anak itu cukup tenang hingga khotbah yang disampaikan oleh pendeta selesai.
Saat hendak memberikan persembahan, Abigail menepuk bahu Kane sambil berbisik, "Kane, bocah kecil perempuan ini memanggilnya mama." Abigail sambil menunjuk perempuan yang tidak lain berada tepat di samping anak lelaki kecil itu. "Perempuan kecil itu kakaknya. Mereka ini keluarga", lanjut Abigail. Kane hanya bisa bergumam dan menganggukkan kepala. Dalam hatinya, "..pantesan sabar banget."
Anak kecil ini memandangi ibunya. Abigail kembali menepuk bahu Kane, ada hal berbeda yang ia jumpai. Matanya agak sendu. Mata Kane mulai berair. Anak kecil yang telah menimbulkan keributan bagi banyak orang sepanjang jalannya ibadah ini ternyata tidak bisa berbicara.
Untuk direnungkan.
Ada banyak orang yang datang beribadah dengan membawa sekian masalah, pergumulan, dan beban yang begitu berat. Termasuk orang tua anak kecil tersebut. Sekalipun orang-orang di sekitarnya tampak tak bisa menerima keributan yang ia lakukan, orang tuanya begitu sabar dan penuh kasih.
Kane dan Abigail mungkin telah menyadari sejak awal ada kondisi yang berbeda dari anak kecil ini. Tapi seberapa dari kita yang seringkali justru di posisi yang berlawanan dengan Kane & Abigail?
Sekalipun berada di lingkungan gereja, sudah seberapa banyak dari kita yang mau mencoba memahami sebuah kondisi bahkan "keributan" tanpa harus bersuara. Diam tanpa harus protes. Belum lagi kita masih cenderung menilai seseorang dari sisi ego kita. Jika anak kecil itu adalah anggota keluarga kita, apakah kita akan berbuat hal yang sama?
Bagi Kane dan Abigail, merespons sesuatu bukan berarti kita harus berbicara. Ada kalanya kita harus diam dan memberikan senyuman untuk hal-hal yang bagi orang lain mengganggu. Tidak memberikan penilaian gampangan. Tunggu, ayo pahami dan perhatikan dulu!
Hidup di dunia yang singkat ini, mari meminta kepada Allah kepekaan untuk berespons secara tepat akan kondisi di sekitar kita. Jika Kane dan Abigail bisa, mengapa kita tidak bisa?
-Sekalipun bibir bisa berbicara, namun ada kalanya harus terdiam. Sekalipun tatapan mata dapat membenci, mari mencoba memberikan senyuman.-
Soli Deo Gloria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar